DEMOKRATISASI PENDIDIKAN: Konsep dan
Penguatan Pilar Implementasinya1) Oleh Sjamsi
Pasandaran spasandaran@yahoo.co.id
1.
Pengantar :Persoalan
Pendidikan dan demokratisasi
Demokratisasi pendidikan merupakan salah satu isu yang
sampai kini masih menjadi persoalan baik pada tataran
konseptual maupun implementasinya. Persoalan demokratisasi ini
menjadi semakin kompleks seiring dengan bergulirnya isu-isu
yang terkait dengan demokratisasi itu sendiri. Sehari-hari
dapat diikuti dan diamati beberapa isu penting, seperti:
kondisi transisional ke arah masyarakat yang demokratis,
tuntutan pemerintahan yang demokratis, pembangunan ekonomi
yang berorientasi kerakyatan, kebijakan yang berpihak dan yang
berorientasi pada kepentingan rakyat, kebijakan demokratisasi
pendidikan, dan demokratisasi di bidang politik. Isu dan
gejala-gejala tersebut menunjukkan bahwa di masyarakat
Indonesia telah terjadi suatu proses demokratisasi dalam
seluruh aspek kehidupan.
Demokratisasi pendidikan yang tengah bergulir di
Indonesia tidak dapat dilepaskan dari persoalan pendidikan
yang sedang kita hadapi. Pertama memang telah dilaksanakan
program wajib belajar sembilan tahun. Sekalipun demikian, data
BPS pada tabel 1 memberikan gambaran bahwa Angka Partisipasi
Sekolah (APS) belum menunjukkan capaian yang memuaskan kecuali
penduduk usia 7-12 tahun. Dilihat dari rata-rata lama
pendidikan, UNDP menurunkan laporan 2001 bahwa dari 26
provinsi di Indonesia rata-rata lama pendidikan adalah 6.8
tahun (http://www.undp.or.id). Capaian ini sekaligus menunjukan rendahnya
tingkat pendidikan, dan tentunya hal ini akan berimplikasi
pada penyediaan sumber daya manusia yang berkualitas.
Tabel 1
Persentase Angka Partisipasi Sekolah
Tahun |
7-12 |
13-15 |
16-18 |
2001 |
95.61 |
70.35 |
40.18 |
2002 |
96.11 |
79.29 |
40.89 |
2003 |
96.42 |
81.01 |
50.97 |
Sumber: BPS: http/bps.go.id
1) Disajikan pada KONASPI V di Universitas
Negeri Surabaya, 5-9 Oktober 2004
2).
Staf pengajar pada FIS Universitas Negeri
Manado
Krisis
multidimensi yang dialami sejak tahun 1997, upaya pemulihan
ekonomi yang nampaknya masih berjalan lamban, dan biaya
pendidikan yang semakin meningkat baik SLTP, SLTA maupun
perguruan tinggi tampaknya akan lebih memperlemah kemampuan
orang tua dan masyarakat dalam menyekolahkan anak-anaknya.
Tingginya angka tidak melanjutkan sekolah, yaitu SD sebesar
31.05, dan SLTP 16.62% dapat menjadi indikator
lemahnya kemampuan ekonomi orang tua dalam melanjutkan
pendidikan anak-anaknya. Data tersebut menunjukkan bahwa ada
persoalan mendasar, yaitu sebagian besar dari penduduk
Indonesia belum menikmati pendidikan yang sesungguhnya adalah
hak dan kebutuhan dasar yang harus dipenuhi oleh negara.
Permasalahan kedua adalah pengembangan sistem
pendidikan dengan pendekatan hirarkhis struktural yang
imperatif sifatnya. Pendekatan atas bawah seperti ini
mempunyai implikasi yang sangat penting, terutama dapat
menghambat proses demokratisasi itu sendiri. Kemandirian,
kebebasan, dan kreativitas dihambat oleh mekanisme birokrasi
yang dibangun secara seragam. Dalam kondisi seperti ini,
demokratisasi dalam arti proses pengakuan terhadap aktualisasi
potensi diri, lembaga, dan masyarakat tidak akan tumbuh dan
berkembang. Pengembangan sistem dan manajemen yang
berorientasi pada penyeragaman justeru akan mengabaikan
realitas kemajemukan, potensi, eksistensi, hak, dan kewajiban
setiap orang, warganegara, dan masyarakat.
Ketiga,
pergeseran paradigma pembangunan termasuk pembangunan
pendidikan dari sentralisasi ke desentralisasi ternyata
memberikan beberapa implikasi penting. Sekalipun pergeseran
itu memperkuat proses demokratisasi, tetapi teramati beberapa
kecenderungan dan gejala berikut ini, yaitu: (1) munculnya
gejala “pertarungan” antara semangat
independensi versus
interdependensi. Dalam pertarungan itu, daerah
memiliki semangat kedaerahan yang sangat tinggi sehingga
cenderung ingin memiliki semuanya, mengabaikan rasa
ketergantungan satu terhadap yang lain. Di pihak lain kondisi
obyektif terutama sosial ekonomi daerah pada
daerah-daerah tertentu belum cukup kuat untuk menjadi kekuatan
yang menopang implementasi otonomi terutama dalam mewujudkan
demokrasi pendidikan. (2) kecenderungan terjadinya disparitas
antar daerah terutama terkait dengan hak setiap warganegara
untuk mendapatkan pendidikan yang bermutu. Kesenjangan antar
daerah baik karena faktor ekonomi maupun geografis dapat
menimbulkan ketidakpastian standar mutu yang dapat dicapai.
Kasus terakhir adalah masalah konversi nilai Ujian
Akhir Nasional 2004, menunjukkan adanya persoalan
uncertainty about standards of achievement.
Keempat masalah
ketersediaan sumber daya manusia khususnya tenaga
kependidikan. Masalah tenaga kependidikan terutama
terkait dengan profesionalisme dalam arti kemampuan dan
kesiapan dalam melaksanakan fungsi-fungsi pendidikan, dan
masalah ketersediaan tenaga kependidikan untuk jabatan dan
fungsi-fungsi pendidikan yang harus dilaksanakan baik guru
maupun fungsi manajemen pendidikan lainnya seperti ahli
perpustakaan, ahli analisis pendidikan, ahli ekonomi
pendidikan, ahli politik pendidikan, pengembang kurikulum,
konselor, psikolog, laboran, teknisi, dan lain sebagainya.
Data Balitbang Depdiknas memberikan gambaran tahun 2001/2002
bahwa terdapat daerah-daerah (provinsi) yang memiliki
persentase yang tinggi mengenai guru tidak layak
mengajar
Tabel
2
Persentase status kelayakan guru mengajar di SMU pada
beberapa daerah
Provinsi |
Jumlah
guru |
Guru yang
layak |
Guru yang tidak
layak |
NAD |
6.792 |
58.32 |
41.68 |
Sumatera Utara |
16.436 |
50.82 |
49.18 |
Riau |
5.291 |
58.12 |
41.88 |
Kalimantan Barat |
3.586 |
49.19 |
50.81 |
Kalimantan Tengah |
2.285 |
59.51 |
40.49 |
Sulawesi Tengah |
1.053 |
40.86 |
59.14 |
Maluku |
2.384 |
57.01 |
42.99 |
Maluku Utara |
1.323 |
54.95 |
55.05 |
Nusa Tenggara Timur |
4.664 |
55.64 |
44.36 |
Papua |
3.429 |
56.49 |
43.51 |
Indonesia |
224.149 |
64.65 |
35.35 |
Sumber: Balitbang depdiknas, http://ww.depdiknas.go.id
Catatan:
Guru yang layak mengajar adalah guru yang berijazah keguruan
dan ijazah di atasnya.
Data tabel
2 tersebut menunjukan suatu persoalan yang sangat serius dalam
mewujudkan demokratisasi pendidikan. Nampak bahwa dalam
kondisi seperti itu sangat sulit bagi anak-anak di
daerah-daerah tersebut untuk memperoleh kesempatan
mengenyam pendidikan yang bermutu. Padahal salah satu aspek
penting dari demokratisasi pendidikan ialah kesempatan yang
sama dalam memperoleh pendidikan yang bermutu.
Kelima masalah lemahnya dukungan finansial.
Sekalipun secara konstitusional telah ditetapkan besaran 20%
dana APBN dan APBD untuk pendidikan, tetapi hal ini masih
sangat sulit untuk dapat diwujudkan baik pemerintah pusat
maupun pemerintah daerah. Setiap daerah otonom memiliki
kemampuan keuangan daerah yang tidak sama. Semangat untuk
memekarkan dan mendirikan kabupaten dan atau kota yang baru
tampaknya belum diikuti oleh kemampuan keuangan daerah, dan
juga komitmen pemerintah dalam mengalokasikan dana pendidikan.
Keenam masalah kondisi
obyektif sosio-demografis dan geografis wilayah dan kepulauan
Indonesia. Kondisi demografis baik struktur
penduduk dengan jumlah penduduk usia muda yang sangat besar,
jumlah penduduk, mobilitas, dan persepsi budaya tentang
pendidikan menjadi tantangan dalam proses demokratisasi
pendidikan. Demikian juga dengan faktor geografis. Wilayah
kepulauan yang terpisah dan terpencil, dan lemahnya
infrastruktur terutama sistem transportasi menyebabkan banyak
warganegara yang tidak memeperoleh kesempatan pendidikan
terlebih pendidikan yang bermutu.
2.
Makna Demokratisasi
Pendidikan
Demokratisasi pendidikan tampaknya menjadi isu sentral
dan strategis dalam menyikapi dan sekaligus reaksi dan respons
terhadap berbagai persoalan pendidikan dikaitkan dengan
realitas kemajemukan sosio-kultural masyarakat Indonesia,
politik pendidikan, ekonomi pendidikan, dan praktek
pendidikan. Demokratisasi pendidikan, didasarkan pada
kepercayaan dan asumsi mengenai hakekat demokrasi itu sendiri.
Didasarkan pada pengalaman sejarah bahwa demokrasi memberi
keyakinan mengenai tumbuhnya partisipasi rakyat dan masyarakat
dalam suatu proses politik, maka demokratisasi
pendidikan dipandang sebagai suatu proses yang juga diharapkan
akan dapat menumbuhkan partispasi rakyat dan masyarakat dalam
prposes pembangunan pendidikan. Partisipasi rakyat dan
masyarakat selalu menjadi faktor utama dalam proses demokrasi.
Dengan demokrasi pendidikan rakyat boleh berharap bahwa
mereka akan memiliki peluang yang sama dalam ikut menentukan
kemajuan, prestasi, dan sekaligus
masadepannya.
Sungguh pun
demikian, dari pengalaman bersama selama ini dapat disaksikan
bahwa telah terjadi persegeseran makna demokrasi. Bahkan
berbagai fenomena dari perilaku politik maupun perilaku sosial
akan sangat tampak bahwa masyarakat kita telah kehilangan
orientasi mengenai demokrasi. Dalam kehidupan keseharian, baik
pada tataran elit politik, birokrasi, kelompok intelektual
(mahasiswa) maupun masyarakat luas dapat diamati
perilaku-perilaku yang cenderung anti demokrasi. Di satu pihak
sangat kuat arus tuntutan akan demokrasi, tetapi di
pihak lain, perilaku individu ataupun masyarakat justeru
menunjukkan perilaku yang bertentangan dengan nilai dasar
demokrasi itu sendiri.
Demokrasi
tidak hanya mengandung makna politik yaitu pemerintahan dari
rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Mirjana Pesic
(2003) mengemukakan lingkup makna demokrasi sebagai berikut
”Democracy is not only
a form of political arrangement amnd governmental structure(
the rule of people by direct or representative democracy) but
it also assumes and incorporates democratic society:a type of
social life that implies acceptance and practice of the
principle of equality of rights, opportunities, and
treatments, for all members of the society”
Tampak
bahwa makna demokrasi penting tidak saja karena terkait dengan
ide dasar yaitu kedaulatan rakyat. Tetapi di dalam ide
demokrasi itu terkandung nilai-nilai dasar universal seperti
kemerdekaan dan atau kebebasan, kesetaraan, dan keadilan.
Bahkan dalam keragaman, ide demokrasi mempunyai makna yang
dapat menghubungkan dan dapat bertindak sebagai penengah bagi
unsur-unsur yang berbeda atau yang bertikai sekalipun.
Artinya, demokrasi mengandung makna untuk saling menghormati
perbedaan-perbedaan pandangan yang ada. Demokrasi dapat
menjadi instrumen untuk dapat menyelesaikan secara spesifik
norma-norma atau nilai-nilai yang berbeda. Pada tataran
praktis jika terjadi perbedaan pendapat, maka perbedaan
pendapat itu umumnya diselesaikan melalui mekansime pemungutan
suara.
Nilai-nilai
demokrasi seperti kebebasan atau kemerdekaan, kesetaraan dan
keadilan merupakan nilai dasar dan sangat substantif.
Pemerintahan oleh rakyat atau kedaulatan rakyat sekalipun,
selalu didasarkan pada nilai-nilai kebebasan, kesetaraan dan
keadilan. Rakyat harus memiliki kebebasan untuk menentukan
pilihan sesuai dengan apa yang diyakininya benar, tidak
diskriminatif dan memberi landasan bagi terjaminnya rasa
keadilan oleh rakyat itu sendiri. Kebebasan memberi makna
bahwa jika pilihan seseorang didasarkan pada "arahan", praktik
politik uang atau money politic, terlebih paksaan dan
intimidasi, maka hakikat demokrasi itu telah mati sekalipun
secara formal terdapat pihak yang lain menang karena
memperoleh suara terbanyak. Kemenangan tersebut bukanlah hasil
dari suatu proses demokrasi yang sesungguhnya karena di dalam
proses itu terjadi hal-hal yang manipulatif.
Kebebasan,
kesetaraan dan keadilan mengandung makna untuk saling
menghormati. Menyatakan pendapat adalah suatu kebebasan
dan itu adalah hak demokratis seseorang. Tetapi kebebasan ini
dibatasi oleh sifat hak itu sendiri yaitu harus
menghargai hak asasi orang lain. Demokrasi sesungguhnya memuat
dua substansi, yaitu right, dan rechtitude. Right
mengandung makna bahwa setiap orang mempunayi hak
(someone having rights). Tetapi didalamnya
terkandung juga makna rechtitude, yaitu something
must be right. Sesuatu harus dilakukan
dengan benar, sebab hanya dengan demikian maka demokrasi itu
mempunyai makna. Secara konkrit dapat dikatakan bahwa ketika
sekelompok orang berdemonstrasi sambil membakar ban mobil di
jalan dan mengakibatkan terjadinya kemacetan, maka di sana
terdapat suatu kondisi yang harus diperbaiki.
Dalam semua
aspek sosial, politik, dan pendidikan, Mirjana Pesic
mengemukakan bahwa demokrasi mempunyai dua makna penting
yaitu pertama acceptance and respect of (democratic)
value, seperti kemerdekaan, tanggungjawab, keadilan dan
solidaritas, harkata dan martabat, respek terhadap diri
sendiri dan juga orang lain, dan respek terhadap keragaman.
(2) mengembangkan prinsip-prinsip demokrasi dalam
berbagai bentuk aktivitas seperti dalam pengambilan keputusan,
aktif dan responsibel terhadap berbagai kegiatan kemanusiaan,
toleran dan tidak diskriminatif, terbuka dalam dialog,
perdebatan maupun negosiasi dengan argumen yang jelas dan kuat
(Mirjana Pesic, http//www.seeeducoop.net)
Konsep
demokratisasi pendidikan tidak dapat dilepaskan dari
perkembangan pemikiran mengenai makna demokrasi. Demokratisasi
pendidikan itu sendiri dapat dilihat dalam beberapa
makna.
Pertama
demokratisasi pendidikan sebagai suatu proses yang menempatkan
rakyat, individu, dan masyarakat sebagai pusat orientasi dan
pengembangan yaitu menempatkannya sebagai subyek.
Demokratisasi pendidikan adalah proses penyelenggaraan
pendidikan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Kelemahan selama ini ialah menempatkan rakyat sebagai
obyek dengan pendekatan dependent-independent, yaitu
pemerintah yang mengatur dan yang menentukan, sedangkan
rakyat, masyarakat dan daerah merupakan pihak yang sangat
tergantung pada pemerintah pusat, sehingga pendidikan itu
bukan bertolak dari apa yang dibutuhkan oleh rakyat itu
sendiri. Menempatkan rakyat dan masyarakat sebagai subyek di
samping akan memperkuat peran masyarakat dalam
penyelenggaraan pendidikan, juga akan memperkuat relevansi
pendidikan karena pendidikan dikembangkan dengan berorientasi
pada kebutuhan masyarakat itu sendiri.
Kedua,
prinsip equality and opportunities, yaitu sebagai suatu
proses untuk mana dapat dijamin hak setiap warganegara untuk
memperoleh secara adil pendidikan dan hasil pendidikan yang
bermutu dan relevan, penyelenggaraan yang efisien dan efektif,
dan kebijakan serta perlakuan yang adil. Mirjana mengemukakan
dua prinsip dasar terutama terkait dengan demokratisasi
pendidikan yaitu:
- The principle of equality (equity, access
and respect of equal rights for all regardless of their
gender, age, race, etnic of religious background, place of
living and wealth, ability, and health status,
- The principle of participation (freedom to
express opinion, make hoice and take active and responsible
part in decision making and practice of
education”
Makna-makna tersebut
menunjuk pada hak setiap warganegara, yaitu mereka memiliki
hak tidak saja hak untuk memperoleh pendidikan (seperti wajib
belajar), tetapi lebih jauh dari itu, mereka mempunyai hak
untuk mendapatkan sekolah yang bermutu, fasilitas pembelajaran
yang standard dan bermutu, guru yang bermutu, dan hasil
pendidikan yang bermutu pula. Tidak boleh
terjadi diskriminasi pendidikan terhadap setiap warganegara
baik karena alasan rasial, agama, kelamin, status sosial, atau
kesehatan (cacat tubuh, dll). Setiap warganegara mempunyai
kesempatan yang sama untuk mendapatkan pendidikan, oleh sebab
itu, melanggar hak dan tidak demokratis apabila pendidikan
dikemas secara sentralistik, perlakuan dan kebijakan
pendidikan yang diskrimintatif yang mengakibatkan
ketertinggalan dan kesenjangan antar daerah yang satu dengan
daerah yang lain, dan satu sekolah dari sekolah yang lain.
Bahkan kebijakan ekonomi pendidikan dalam arti biaya
pendidikan tinggi yang tidak dapat dijangkau oleh setiap
warganegara merupakan perlakuan yang mendorong terjadinya
diskriminasi berdasarkan status sosial. Menjadi lebih tidak
demokratis lagi apabila keragaman yang ada (baik karena faktor
kultural, sosial, ekonomi, geografis) tidak dipahami dan tidak
dijadikan landasan dalam pengambilan keputusan.
Ketiga,
demokratisasi sebagai proses memperkuat aksesibilitas
masyarakat untuk memperoleh kesempatan berpartisipasi dalam
penyelenggaraan pendidikan ke arah kemandirian institusional
dalam penyelenggaraan pendidikan baik akademik, manajemen
maupun finansial. Diproposisikan bahwa partisipasi masyarakat
akan (1) memperkuat tanggungjawab masyarakat terhadap
penyelenggaraan pendidikan, (2) menumbuhkan rasa memiliki, dan
(3) meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan
pendidikan. Proses birokrasi yang panjang diharapkan dapat
diperpendek sehingga mempercepat pengambilan keputusan
dan pelayanan pendidikan.
Keempat
demokratisasi pendidikan sebagai strategi pembelajaran.
Perspektif ini memberi makna pergeseran peran dari guru
sebagai pusat atau teacher centered ke arah siswa
sebagai pusat atau student centered. Pendekatan yang
berpusat pada guru kurang memberi peluang dan ruang gerak bagi
siswa untuk mengembangkan diri, menyampaikan gagasan, dan
kritikan. Proses pembelajaran yang demokratis lebih memberi
peluang kepada guru dan siswa untuk menghargai kemampuan
diri, keragaman pemikiran, pendapat, ide ataupun
gagasan. Pembelajaran yang demokratis sangat berguna sebagai
media pembelajaran demokrasi. Untuk jangka panjang, tujuannya
adalah untuk menyiapkan peserta didik agar terbiasa bebas
berbicara dan mengeluarkan pendapat secara bertanggung jawab,
terbiasa mendengar dengan baik dan menghargai pendapat orang
lain, menumbuhkan keberanian moral yang tinggi, terbiasa
bergaul dengan rakyat, ikut merasa memiliki, sama-sama
merasakan suka dan duka dengan masyarakatnya, dan mempelajari
kehidupan masyarakat.
Komunikasi
sebagai unsur esensial dalam demokratisasi pendidikan harus
terjadi ke segala arah dan bukan hanya bersifat satu arah
yaitu dari pendidik ke peserta (top down) melainkan juga ada
keseimbangan yaitu antara peserta didik dengan pendidik dan
antarpeserta didik sendiri. Model komunikasi yang satu arah,
akan lebih mendorong tumbuhnya sikap pasif di dalam diri
siswa, proses pembelajaran menjadi lebih direktif dan
monoton. Sebaliknya, komunikasi yang dibangun secara
demokratis memberi peluang bahwa sumber belajar bukan
hanya terletak pada pendidik melainkan juga pada peserta
didik. Hal ini sangat dimungkinkan oleh kemajuan teknologi
terutama teknologi komunikasi. Sangat terbuka peluang bahwa
kemampuan aksesibilitas siswa lebih besar dari seorang guru.
Kelima
demokratisasi pendidikan sebagai proses pendidikan demokrasi
yang lebih humanistis dan beradab sesuai dengan citacita
masyarakat demokratis. Dengan komunikasi yang demokratis
antara guru dengan siswa, maka akan terjadi interaksi
yang sehat, wajar, dan bertanggung jawab. Siswa diberi peluang
untuk mengeluarkan pendapat, perasaan, dan bertindak sesuai
dengan langkahnya sendiri dan mungkin saja berbeda dengan
gurunya. Dalam proses pembelajaran yang demikian, siswa tidak
saja memahami demokrasi tetapi juga menjalani latihan seperti
berdebat, menghargai pandangan dan harga diri orang lain,
serta mematuhi aturan hukum yang diaplikasikan dalam setting
diskusi. Peserta didik ditantang menguji validitas pikirannya
dengan argumentasi-argumentasi yang rasional dan jika mungkin
berdasarkan hasil penelitian yang seksama. Dalam iklim PBM
yang demokratis, pendidik tidak harus merasa paling pandai di
dalam kelas, tidak merasa paling benar di kelasnya, merasa
telah menang belajar satu malam dibandingkan dengan siswanya;
tetapi akan terjadi saling tukar informasi dan pengalaman
dengan peserta didiknya.
Diproposisikan bahwa demokratisasi pendidikan akan
memperkuat (1) preferensi nilai dan kebutuhan yang
dianggap strategis, dan dengan demikian memperkuat hubungan
fungsional pendidikan dengan perkembangan masyarakat, (2)
partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan, (3)
peningkatan efisiensi dan efektivitas manajemen pendidikan,
dan (4) memperkuat kebermaknaan fungsi kelembagaan dan
kemandirian institusi pendidikan di daerah. Dengan proposisi
tersebut, dapat dikatakan bahwa demopkratisasi pendidikan
merupakan upaya strategis dalam menjawab tantangan dan
kebutuhan masyarakat baik masalah relevansi, efisiensi,
manajemen, maupun partisipasi masyarakat.
3.
Memperkuat Pilar
Demokratisasi Pendidikan
Substansi
demokratisasi pendidikan adalah proses membangun demokrasi
pendidikan. Demokrasi yang hendak dibangun tentunya perlu
dibangun di atas dasar dan pilar yang kuat. Dalam
hubungan ini dapat dikemukakan beberapa pilar yang perlu
diutuhkan dalam memperkuat demokratisasi pendidikan di
Indonesia.
1)
Demokratisasi berdasarkan
kemajemukan nilai-nilai kultural dan sistem
kemasyarakatan
Indonesia
adalah masyarakat yang majemuk baik sistem kepercayaan, sistem
nilai budaya, sistem kemasyarakatan, adat istiadat maupun
tradisinya. Pendekatan kultural justeru akan memperkuat proses
demokratisasi pendidikan. Proses demokratisasi pendidikan
tidak boleh tercabut dari akar budaya sehingga akan terjadi
proses alienasi terhadap lingkungannya. Hal ini sangat penting
mengingat pengaruh arus kuat globalisasi dan perubahan sosial
yang demikian cepat, serta kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Pendekatan yang serba teknologis dan instrumental
justeru akan memperlemah penerimaan perubahan dan partisipasi
masyarakat.
2)
Demokratisasi yang
menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan
Bangsa
Demokrasi
adalah hak setiap warganegara. Tetapi hak itu dibatasi oleh
hak asasi orang lain, hak dan kepentingan masyarakat, bangsa,
dan negara. Oleh sebab itu demokratisasi pendidikan harus
memperkuat nilai-nilai persatuan dan kesatuan bangsa.
Penyerahan kewenangan oleh pemerintah pusat ke pemerintah
daerah atau ke sekolah justeru merupakan esensi demokratisasi,
dan tidak berarti sebagai tindakan pemisahan. Semangat
independensi yang sangat kuat di beberapa daerah justeru akan
sangat membahayakan integrasi bangsa.
3)
Demokratisasi yang
berorientasi kerakyatan
Demokratisasi yang berorientasi kerakyatan mengandung
makna bahwa proses tersebut harus bertolak dari kebutuhan,
kepentingan, dan pengelolaan oleh rakyat dan masyarakat itu
sendiri. Dalam hubungan ini perencanaan pengembangan dari akar
rumput (orang tua, siswa, sekolah, dan daerah) merupakan
unsur-unsur yang sangat penting dalam memperkuat proses
demokratisasi pendidikan.
4)
Demokratisasi yang
berdasarkan Hak Asasi Manusia
Demokrasi
adalah hak setiap warganegara, oleh dan sebab itu proses
demokratisasi pun harus berdasarkan dan menghargai HAM setiap
warganegara. Kebijakan pendidikan yang sifatnya
diskriminatif dalam mendapatkan pendidikan yang bermutu,
fasilitas yang stndar, guru yang baik, dan diskriminasi
gender, status sosial ekonomi merupakan pelanggaran terhadap
hak asasi manusia.
5)
Demokratisasi melalui
otonomi daerah atau
desentralisasi
Desentralisasi seperti diketahui telah menimbulkan
berbagai persoalan dan implikasi. Esensi dari desentralisasi
ialah memperkuat kemampuan daerah ataupun sekolah dalam
perencanaan, pengelolaan, dan pengembangan pendidikan di
daerah oleh sekolah ataupun daerah itu sendiri.
4.
Strategi
Demokratisasi Pendidikan
Strategi
demokratisasi pendidikan, sesungguhnya telah memiliki landasan
konsti-tusional dan yuridis yang kuat. UUD 1945 dan UU
No 20 tahun 2003 memberikan landasan dan arah yang jelas,
sekalipun masih mengidap sejumlah persoalan terutama bagaimana
implementasinya. Beberapa pertanyaan yang perlu dijawab
adalah: (1) apa yang menjadi kebutuhan daerah, sekolah, siswa,
orang tua, dan masyarakat?, (2) bagaimana mendorong dan
menjamin keberlanjutan perubahan, (3) bagaimana menjamin
sistem dan sumber daya pendukung yang kuat?,
1)
Kebijakan dan kebutuhan pendidikan.
Demokratisasi pendidikan memprosisikan tentang
penguatan hubungan fungsional kelembagaan pendidikan dalam
menjawab kebutuhan masyarakat yang semakin berkembang. Artinya
melalui demokratisasi pendidikan akan dapat ditngkatkan
relevansi program pendidikan, pengelolaan dan penyelenggaraan
pendidikan, efisiensi, dan nilai tambah hasil pendidikan yang
sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Mencermati berbagai
masalah, konsep, susbtansi, dan pilar demokratisasi yang
harus kuat dapat dikemukakan beberapa aspek
penting untuk pengambilan keputusan sebagai kebijakan
pendidikan.
a. Kebijakan yang menjamin aksesibilitas,
diseminasi, dan arus informasi. Hal ini sangat penting karena
terkait dengan kondisi geografis terutama di daerah-daerah
kepulauan yang terpencil dan daerah perbatasan. Sekalipun
sebagian besar wilayah telah dapat dijangkau melalui sarana
telekomunikasi (radio, televisi, dan surat kabar) tetapi
sebagian lainnya masih idup dan tinggal di daerah perbatasan,
daerah kepulauan, dan daerah terpencil (suku
terasing).
b.
Pengambilan keputusan yang
demokratis. Pendekatan akar rumput menjadi sangat penting
dalam menjamin pengambilan keputusan yang demokratis. Oleh
sebab itu perencanaan pengembangan pendidikan di daerah-daerah
tidak dapat dilakukan secara terpusat. Perencanaan
mengenai pengembangan sekolah oleh masing-masing sekolah
dan daerah di samping menjamin pengambilan keputusan yang
demokratis, juga menjamin perencanaan yang sesuai dengan
kebutuhan riil sekolah dan daerah itu.
c. Kebijakan yang menumbuhkan partisipasi
masyarakat. Hakikat demokratisasi ialah untuk menumbuhkan
partisipasi masyarakat. Partisipasi itu dapat dilihat dalam
beberapa hal seperti: partisipasi orang tua dan masyarakat,
partisipasi masyarakat terinstitusi (stakeholders),
pengembangan jaringan kerjasama kelembagaan dengan pemerintah,
antar sekolah, dunia usaha dan industri, lembaga-lembaga
ilmiah, lembaga swadaya masyarakat, dan tokoh-tokoh masyarakat
dan para pakar yang dapat dijadikan sebagai nara sumber.
d. Penguatan kapasitas institusi pada
semua jenjang pendidikan. Saat ini sedang dilaksanakan
kurikulum berbasis kompetensi sebagai instrumen dalam
menghasilkan lulusan yang bermutu. Proses pembentukan
kompetensi membutuhkan kapasitas institusi yang harus kuat.
Kesenjangan kapasitas institusi akan menghambat proses
demokratisasi pendidikan. Sasaran yang harus menjadi perhatian
adalah kapasitas sumber daya manusia terutama tenaga
kependidikan (guru, pustakawan, laboran, teknisi, konselor,
psikolog, ahli manajemen pendidikan, kepala sekolah dll),
iklim organisasi yang kondusif, dan ketersediaan fasilitas
pembelajaran. Kapasitas insitusi mencakup pula kemampuan
menjamin efisiensi internal institusi.
e. Kejelasan perangkat atau instrumen
sistem mengenai fungsi, peran, mekanisme, dan prosedur dari
semua lapis manajemen baik pada tingkat sekolah,
kabupaten/kota, provinsi, maupun pusat. Berbagai kasus di
daerah seperti ”saling lempar tanggungjawab” mengenai
pembayaran gaji guru menunjukkan lemah perangkat sistem yang
ada. Hal ini penting dalam memperkuat rasa tanggungjawab dan
komitmen terhadap tugas dari setiap orang, institusi ataupun
daerah.
f. Keterbukaan dan akuntabilitas baik
pemerintah daerah maupun pemerintah pusat. Demokratisasi tidak
akan dapat dibangun tanpa ada suatu komunikasi yang terbuka.
Inti demokratisasi justeru terletak pada komunikasi
pusat-daerah, pemerintah-sekolah, orang tua dengan sekolah,
dan juga komunikasi antara sekolah dengan dunia usaha,
industri dan masyarakat luas. Komunikasi yang terbuka
merupakan bagian integral dari akuntabilitas pemerintah dan
sekolah terhadap masyarakat. Bagi sekolah akuntabilitas
tersebut mencakup akuntabilitas akademik, akuntabilitas
sosial, dan akuntabilitas finansial. Pemerintah mempunyai
akuntabilitas sosial dan finansial kepada masyarakat karena
dana yang digunakan adalah dana yang bersumber dari masyarakat
itu sendiri.
2)
Penjaminan sustainabilitas
proses demokratisasi
pendidikan
Demokratisasi adalah suatu proses yang berkelanjutan.
Perubahan yang terjadi dari suatu proses demokratisasi akan
memperkuat makna demokratisasi itu sendiri. Oleh sebab itu
beberapa aspek yang penting dalam memperkuat jaminan
keberlanjutan perubahan yang terjadi.
a. Political priorities and corrective
policies. Demokratisasi sudah harus
dijamin dengan instrumen sistem (undang-undang, dan peraturan
pelaksanaan lainnya) yang mendukung. Dan hal ini akan sangat
tergantung pada prioritas politik pemerintah pusat ataupun
daerah dalam melakukan koreksi terhadap kebijakan dan
peraturan yang tidak demokratis, ketentuan yang diskriminatif,
dan kebijakan yang menghambat perubahan dan proses
demokratisasi.
b.
Menyusun rencana
pengembangan pendidikan di daerah ke dalam suatu pola
dasar rencana pengembangan. Karaktisitik perencanaan hendaknya
menggambarkan (1) komprehensitas, (2) keterpaduan dan
keterkaitan, (3) kelayakan baik dari segi dana, kegunaan dan
manfaat, serta ketersediaan sumber daya pendukung, (4)
keberlanjutan rencana, implementasi, dan pengembangan
kegiatan, dan (5) sistem dan dukungan sosio-kultural-ekonomis
daerah.
c. Pengembangan jaringan kerjasama antar
lembaga dan antar daerah dengan memperkuat koordinasi
implementasinya. Kerjasama tersebut dapat mencakup pembinaan
dan pengembangan potensi sumber daya manusia dan sumber daya
belajar; pertukaran informasi dan penguatan aksesibilitas
informasi oleh suatu daerah; pertukaran tenaga ahli, dan
pemanfaatan sarana dan fasilitas pendidikan.
3)
Pengembangan sistem dan
sumber daya pendukung
Pengembangan sistem dan sumber daya pendukung
merupakan prasyarat yang harus dipenuhi bagi terlaksananya
demokratisasi pendidikan.
a. Manajemen pendidikan yang
desentralistik. Paradigma desentralistik dapat diimplemen-tasi
melalui berbagai bentuk model manajemen. Ciri desentralistik
ditandai oleh (1) pemberian kewenangan yang lebih luas kepada
daerah dan atau sekolah dalam perencanaan, pengelolaan, dan
pelaksanaan pendidikan, (2) memperkuat kapasitas manajemen
sekolah melalui Manajemen Berbasis Sekolah (MBS).
Sebagai suatu strategi, Priscilla Wohlstester menulis
urgensi MBS sebagai berikut:
“School-based
management (SBM) is a strategy to improve education by
transferring significant decision-making authority from state
and district offices to individual schools. SBM provides
principals, teachers, students, and parents greater control
over the education process by giving them responsibility for
decisions about the budget, personnel, and the curriculum.
Through the involvement of teachers, parents, and other
community members in these key decisions, SBM can create more
effective learning environments for children (Priscilla Wohlstetter ,
2002)
b. Pengembangan kapasitas pendanaan
sekolah berbasis persaingan. Kapasitas pendanaan sekolah
menjadi salah satu implikasi penting dari implementasi
demokratisasi pendidikan. Sekolah ditantang untuk mampu
mengelola, mengembangkan, dan meningkatkan kapasitas
pendanaannya sendiri. Di sisi lain sekolah adalah suatu
institusi nirlaba, dan berbeda dengan badan usaha lain yang
berorientasi keuntungan. Di samping itu, pengalaman empirik
menunjukkan bahwa selama ini pendanaan merupakan salah satu
kendala terbesar yang dihadapi oleh semua sekolah baik swasta
maupun negeri. Ke depan, terdapat kecenderungan bahwa subsidi
langsung dari pemerintah semakin berkurang. Akan terjadi
pergeseran sumber pendanaan dari governance ke
manajemen sekolah. Artinya dukungan pendanaan tidak lagi
bersumber pada pemerintah, tetapi bergeser kepada kemampuan
manajemen setiap institusi pendidikan untuk
mengembangkan dan mendayagunakan potensi sumber daya dana yang
ada di masyarakat. Berbagai proyek kompetitif
diharapkan dapat digulirkan di sekolah-sekolah. Artinya di
satu sisi terdapat dana tetap (fix cost) sebagai dana menimal
kebutuhan dan rutin untuk kebutuhan sekolah, tetapi untuk dana
pengembangan harus diperoleh melalui pengajuan
kegiatan-kegiatan pengembangan sekolah yang sifatnya inovatif
dan kompetitif. Model MBS merupakan model yang dapat lebih
mendorong terjadinya perguliran kegiatan-kegiatan pengembangan
yang inovatif tersebut. Implikasi penting dari
perubahan-perubahan tersebut ialah bahwa pengelolaan
sumber-sumber pendanaan harus didasarkan pada prinsip
selektivitas, efisiensi, efektivitas, dan produktivitas yang
tinggi. Selektivitas berarti kebutuhan investasi yang
diperlukan untuk suatu proses pendidikan di sekolah harus
didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan rasional, obyektif,
serta memenuhi asas kebutuhan dan pengembangan. Untuk itu
harus ada mekanisme penilaian yang komprehensif, obyektif, dan
kompetitif. Penilaian itu harus didasarkan pada
indikator-indikator, yaitu efisiensi, efektivitas, dan
produktivitas, dan daya guna atau kemanfaatan kegiatan dan
investasi untuk pengembangan dan peningkatan mutu
sekolah.
c. Pengembangan sumber daya
teknologi informasi. Ketimpangan penguasaan
informasi ilmu pengetahuan dan teknologi antara sekolah yang
satu dengan sekolah yang lain di daerah-daerah, dan yang
disebabkan oleh kondisi geografis perlu diterobosi melalui
kebijakan dengan membangun sistem berbasis teknologi
bersama yaitu dengan terus memperbaiki sistem informasi yang
telah dimiliki ke arah yang lebih canggih, sehingga informasi
yang mutkahir dapat diakses dengan lebih cepat.
Sekolah-sekolah yang sudah maju dengan tekonologi informasi
yang sudah maju pula diharapkan akan mampu menjembatani
kesenjangan informasi antar antar sekolah di daerah-daerah.
d. Pengadaan dan
pengembangan tenaga kependidikan. Profesionalisme
dan kompetensi hendaknya menjadi kriteria utama dalam
pengembangan system rekrutmen tenaga kependidikan
dalammendukung demokratisasi pendidikan. Hal ini mengandung
implikasi yaitu pertama penetapan criteria yang semakin ketat
terhadap setiap pengadaan dan pengembangan tenaga
kependidikan, kedua pengembangan perilaku manajemen yang
professional dalam pengelolaan sistem rekrutmen, dan ketiga
pengembangan diri sebagai kriteria untuk seorang guru atau
tenaga kependidikan lainnya agar dapat terus bersaing. Artinya
mereka yang tidak lagi memiliki komitmen dan kemampuan untuk
mengembangkan diri akan tertinggal atau ditinggalkan. Keempat,
pengembangan system imbalan atau insentif yang memenuhi
standar profesi.
PENUTUP.
Kebermaknaan demokratisasi pendidikan, akan sangat
ditentukan oleh terpenuhinya prinsip-prinsip dasar, yaitu
prinsip keadilan dan partisipasi. Melalui demokratisasi
pendidikan kesenjangan dalam memperoleh peluang dan kesempatan
mendapatkan pendidikan bermutu, kemandirian dalam prencanaan,
pengelolaan, dan implementasi manajemen pendidikan.
Demokratisasi pendidikan memperkuat hubungan fungsional
sekolah dengan perkembangan masyarakat dan menumbuhkan
partisipasi. Kebermaknaan demokratisasi memerlukan pilar-pilar
yang kuat baik secara sosio-kultural, poilitis, hak asasi,
maupun manajerial. Secara strategis diperlukan kebijakan yang
bertumpuh pada kebutuhan dan kondisi obyektif masyarakat, dan
kuatnya sistem pendukung.
DAFTAR
BACAAN.
Forum of Community
Schools, 2004, Democratization of Education System,
www.ifes.am
Mirjana Pesic, et
al, 2003, Democratization of Education and Education for
Democratic Citizenship, www.see-educoop.net
JICA, 2004, The History
of Japan’s Educational Development, Institute for
International Cooperation.
Sjamsi
Pasandaran, 2004, Demokratisasi Pendidikan: Menjawab Tantangan
Manajemen Pendidikan, Media Pustaka, Manado
Wohlstetter Precillia.
2002. School-Based Management. California. The Finance Cewnter
of the Consortium for Policy Research in Education. University
of Southern California
|
|